Aug 11, 2021

Writing for Healing


Menulis sebagai salah satu proses healing

Mungkin kamu pernah mendengar kalimat di atas. Menurutmu bagaimana?

Beberapa waktu lalu, sempat ada pembicaraan dengan seorang teman, di mana di era sosial media ini, yang kemudian semua hal dalam hidup bisa dijadikan untuk konten, privasi itu seperti memudar seiring berjalannya waktu. Begitu banyak orang menampilkan tentang kehidupannya bahkan seakan tanpa pembatas sama sekali.

Saya teringat dulu ketika sosial media belum seperti sekarang dimana blog masih salah satu yang juga tidak banyak yang menggunakan. Fungsinya sebagian besar bagi penggunanya adalah sebagai tempat curhat. Saya ingat, sebenarnya sama seperti sekarang ada orang yang kemudian mengingatkan pengguna blog, jika tulisannya mungkin bagi yang mengingatkan itu terlalu mengumbar atau berlebihan. Tak jarang kemudian pemilik blog menanggapi dengan "blog aku ya terserah aku donk, nggak suka tinggal nggak usah baca."

Ya, memang benar sih bahwa orang berhak menulis atau memposting apa saja, kalau nggak suka ya tinggal skip. Orang yang punya privasi dengan kesadarannya sendiri membuka apa yang dia punya.

Dan dalam media blog, ketika seseorang ingin membaca sebuah blog caranya lebih susah daripada ketika di media sosial lain. Kecuali tulisan itu masuk laman pertama di mesin pencarian google cakupannya tentu tidak sebesar media sosial lain. Untuk itu ketika kita ingin tulisan kita dibaca lebih banyak orang harus menyebar link lebih dulu di banyak platform lain. 

Tapi, apakah kemudian itu namanya menulis sebagai salah satu cara untuk healing?

Kalau buat saya, menulis memang salah satu cara dalam healing tetapi ketika akan mempost di sosial media, itu dua hal yang berbeda. Seperti bagian yang saya beri bold di atas, alasan lainnya adalah supaya dibaca oleh orang lain. 

Seperti, ketika orang membuat konten untuk salah satu sosial media dan bentuknya berupa video dan dalam video itu berisi bukan hanya dirinya, tetapi orang lain. Ketika akhirnya viral dan orang yang ada di dalam video itu tidak terima, yang mengunggah kemudian bilang "ya, aku nggak nyangka bakalan jadi viral."

Loh heeeeee, sek talah. 

Pemikiran seperti itu menurut saya lucu. Karena menjadi viral adalah salah satu konsekuensi ketika kita mempost sesuatu. Sama dengan menulis, jika menulis untuk proses healing harusnya tau mana yang kudunya dipost, mana yang cukup diletakkan di draft saja.

Jadi kembali lagi kalau kontenmu itu kemudian dipost, maka menulis mungkin tetap menjadi salah satu proses healing tetapi juga diniatkan untuk dibaca orang lain. Jika yang ditulis berupa aib, maka ya membuka aib. Nah disini yang saya agak kurang sependapat dengan kemudian menulis dan dipost kemudian menjadikan healing sebagai alasan. 

Ini sama dengan konten yang marak, joget-joget. Kemudian kamu melihat ada orang yang berbaju syar'i dan berhijab, joget sampai menampilkan lekuk tubuh tentu rasanya tak pantas. Tapi apa kemudian mereka tidak boleh joget? Tentu boleh, tapi ya joget aja kalau mau direkam ya rekam aja, tapi ya tidak perlu dipost. Simpan saja untuk diri sendiri.

Lah, terus buat apa? Ngapain ngelakuin kalau nggak ada yang lihat?

Nah, kalau sampai kemudian ada pertanyaan itu, maka tujuan makin jelas terlihat. Bahwa tujuan utamanya adalah untuk dilihat orang lain. Butuh pengakuan, mungkin? Ya, alasan itu memang hanya si pembuat konten yang tahu, kan. 

Sesuatu hal yang salah, tetap saja salah apapun alasannya. Bahkan jika banyak orang melakukannya pun tidak serta merta menjadikan sesuatu yang salah itu menjadi benar. Ya, kan? 

Ada satu kalimat dari seorang sahabat yang aku suka "di era yang segala fase hidup dijadikan konten, private life is a privilage".

No comments:

Post a Comment