Oct 23, 2015

Kontrakan

Keluar dari zona nyaman.

Sebulan terakhir ini ada satu masalah yang cukup menguras pikiran saya. Masalah yang datang bisa dibilang jadi pengingat buat saya dan suami, bahwa kami tidak sedang membawa diri kami sendiri ketika sebuah masalah apapun itu datang, ada anak-anak yang terkena imbas baik langsung maupun tak langsung.

Mungkin ini juga jadi pengingat bagi kami karena sedikit terlalu santai menghadapi sesuatu.

Masalah tentang kontrakan rumah.

Rumah yang kami tinggali memang masih kontrak, dan tentu kami tak berpikir untuk selamanya ngontrak. Beberapa rencana sudah dibuat untuk mengakhiri masa-masa mengontrak ini. Tapi dari beberapa rencana yang dibuat meleset. Hingga akhirnya, bulan lalu ketika kami memutuskan untuk memperpanjang kontrak dan siap membayar, kabar buruk itu datang.

Kontrak tak dapat diperpanjang.

Masa kontrak yang habis di bulan November, dan kami baru mendapat kabar jika kontrak tidak dapat diperpanjang di tengah September. Pusing, bingung, marah, pasrah. Mungkin ada yang bertanya, kok sebelum-sebelumnya nggak tanya apa rumah masih dikontrakkan? Itu sudah saya lakukan, enam bulan sebelumnya saya masih mendapat kepastian dari pemilik rumah kalau rumah masih dikontrakkan, oleh sebab itu kami tidak bersiap apa-apa. Kami memegang omongan dari pemilik rumah.

Mencari rumah kontrakan tentu tidak mudah, terlebih anak-anak mulai sekolah jadi mencari tempat yang dekat dengan sekolahnya.

Ketika saya mendapat kepastian bahwa meminta perpanjangan barang 1bulan saja tidak diberikan maka saya mulai membereskan barang-barang yang ada di rumah. Anak-anak mulai bertanya, kenapa saya membereskan barang-barang. Ketika saya memberikan penjelasan tentang kami yang nantinya pindah, dan celotehan ringan mereka justru membuat saya akhirnya meneteskan air mata. 

Saya seperti memaksa mereka untuk keluar dari zona nyaman mereka. Mereka mungkin tidak protes, tetapi tetap saya merasa bersalah.

Dari anak-anak saya banyak belajar tentang ikhlas, ikhlas ketika kenyamanan yang sekarang saya terima diambil. Mungkin ada andil saya didalamnya tanpa saya sadari. Saya harus lebih belajar untuk keluar dari zona nyaman dan belajar membuat saya menerima hal baru, jika saya ingin anak-anak kembali merasakan kenyamanan. Karena jika saya sendiri tidak merasakan kenyamanan bagaimana saya bisa membuat anak-anak saya nyaman nantinya.

Ah, saya sudah cukup merasa marah dan kecewa pada pemilik rumah, cukup karena semuanya tak akan ada gunanya, yang ada hanya menguras emosi dan energi saya. Kini saatnya saya menyusun semuanya kembali, sehingga walau anak-anak keluar dari zona nyamannya kini mereka bisa memperoleh kenyamanan mereka kembali, secepatnya.

1 comment:

  1. waduh mbak :( hmm kita nampaknya berada ada pergolakan emosi yang sama cuma beda aja masalahnya
    smg sgr dapat tempat yg lebih baik nyaman dan enak yang punya rumahnya ya

    ReplyDelete