Dec 6, 2020

Marah, boleh?

Mengatur emosi, sampai saat ini munkin ini salah satu hal yang harus terus dipelajari. Bagaimana tidak, rasanya semakin bertambahnya usia masalah yang datang pun juga makin beragam dan pastinya makin bermain dengan emosi.

Sebenarnya ada hal yang tak kalah penting dibanding mengatur emosi, yaitu bagaimana pelampiasan dari emosi itu sendiri. 

Dulu, saya pernah ketika merasakan sesuatu seperti sedih atau marah saya simpan sendiri. Ya dipendam aja begitu. Namun, seperti kata banyak orang bilang hal seperti itu hanya akan menjadi bom waktu. Seperti wadah yang terus diisi tanpa dikeluarkan sama sekali maka sampai batasnya ia akan meluber atau bahkan pecah hingga akhirnya semuanya keluar.

Sebenarnya apa boleh kita marah? Ya boleh lah, itu adalah salah satu emosi wajar yang diberikan pada kita. Yang terpenting adalah apa yang kita lakukan ketika emosi.

Ketika sudah menjadi emak dari dua anak, saya akhirnya lebih memikirkan out put dari emosi saya. Karena saya yakin, apa yang saya lakukan sedikit banyak akan ditiru oleh anak-anak. Hal yang terpenting adalah kerja sama dengan suami. Saling mengerti bahwa salah satunya lagi emosi, maka pasangan mungkin meredam salah satunya dengan membawa anak-anak menjauh sejenak.

Jadi apa yang saya lakukan ketika akhirnya bisa sendiri?

Ya, menyenangkan diri sendiri dan menjauh dari sumber masalah. Seperti ngedemin diri dulu dengan mandi, kemudian pakai wewangian, terus entah akhirnya baca buku atau malah akhirnya tidur. 

Tapi ada saat ketika saya marah, tetap harus menghadapi anak-anak. Sampai saat ini, yang sering saya lakukan ya ngomel. Secara teori harusnya nggak boleh ya, tapi entah selalu tidak bisa menahan diri untuk tidak mengomel. Hahaha. Atau jika tidak, misal anak-anak harus mengerjakan tugas sekolah, saya akhirnya beberes atau masak. Pokok saya harus berada ditempat yang berbeda dengan mereka.

Satu hal yang paling saya hindari jika saya sedang marah adalah memegang handphone. Walau sekarang saya sudah tidak lagi bersahabat dengan Facebook, jarang membuat status tetap saja saya menghindari memegang handphone. Daripada kemudian saya menuliskan status atau apalah yang akhirnya saya sesali. Karena jika biasanya mau nulis status aja untuk postingnya mikirnya berkali-kali kadang saat emosi nggak pakai mikir langsung posting.

Apalagi kalau yang buat emosi itu adanya disosial media. Buat saya, rasanya sudah bukan waktunya untuk saling sindir di sosial media layaknya ABG yang masih labil. Hahaha.

Bahkan kadang sekedar buka app semacam IG yang hanya untuk menikmati gambar, atau tiktok saya hindari kadang ada postingan yang mengundang komentar dan kadang akhirnya sayanya komen berdasarkan emosi saat itu dengan kata-kata yang nggak disaring.

Baca juga : Tentang Pertemanan : Teman yang Menyebalkan

Jadi tetep aja donk disimpen sendiri?

Nggak, saya hanya butuh waktu dan situasi yang bersahabat untuk meredam emosi saya, amarah saya. Setelahnya pastinya akhirnya akan cerita sama suami. Entah hanya sebagai pelampiasan, atau mencari solusi atau sekedar menjadi bahan pillow talk.

Lalu bagaimana jika marahnya sama suami? 

Ya sama saja sih, menghidari dulu sumber masalah, ngademin diri dulu. Baru kemudian dipikir lagi, sendiri dulu baru kemudian dibicarakan dengan suami. Beberapa orang mungkin bilang, masalah itu jangan sampai dibawa tidur. Jangan sampai lewat semalam masalah belum selesai. 

Namun buat saya, yang terpenting emosi saya reda dulu. Baru deh entah itu besoknya atau malamnya baru bisa dibicarakan tanpa emosi. Karena percuma juga masalah ingin segera diselesaikan tapi dalam menyelesaikannya tingkat amarah masih tinggi, yang ada biasanya justru saling menyakiti. Bukan kah itu yang seharusnya dihindari?

Kalau kamu sedang marah, apa yang kamu lakukan?

No comments:

Post a Comment