Nov 15, 2020

Perjalananku bersama matematika.


Apa sih rahasianya, kok bisa suka dengan matematika?
Satu pertanyaan yang membuat saya bingung memberikan jawabannya, dan ingat sekali itu ditanyakan oleh salah seorang teman saat saya masih duduk di bangku SMA. Dan itu tidak hanya satu dua anak yang menanyakannya.

Jujur saja, saya lupa sejak kapan saya menyukai matematika. Saya hanya merasa tidak sampai terbebani dengan pelajaran matematika, tidak mengeluh malah lebih sering ke penasaran untuk menyelesaikan soal. Saat SMP SMA, memang ada anak yang selalu menjadi juara kelas dan pastinya nilai matemtikanya seringnya sempurna, yang membuat saya heran kenapa pertanyaan itu terlontar pada saya?

Apa terlihat sesuka itu saya pada matematika, hahaha.

Yang saya ingat tentang matematika saat sekolah justru adalah guru-gurunya yang killer, baik saat SMP maupun saat SMA. Saya sampai bertanya, apakah guru matematika itu selalu killer?

Saat SMP ada satu guru laki-laki yang sudah sepuh, dan paling ditakuti oleh semua anak. Hal yang paling ditakuti adalah ketika beliau selesai merenangkan dan kemudian dipilih siapa yang maju dan mengerjakan soal yang diberikan. Mending kan kalau misal dikasih soalnya dulu disuruh ngerjakan dulu baru maju kedepan. 

Lah seringnya, soal diberikan ketika kita dipanggil dan ada didepan kelas. Mungkin yang dipanggil sebenarnya bisa tapi keburu takut dan sport jantung dulu hingga seringnya yang maju itu nggak bisa ngerjain dan kena omel. Kadang sekarang mikir, kenapa ya bisa setakut itu, padahal ya cuma diomelin. Nggak ada perlakuan yang kasar sampai main fisik. Tapi ya mungkin itu salah satunya karena wibawa beliau.

Kalimat beliau yang paling saya ingat adalah “tempelkan matamu di papan tulis.”

Kalau kalimat itu sudah keluar, maka tidak ada satu anakpun yang berani menimbulkan suara.

Tapi walau guru matematika di sekolah saya terkenal killer, entah mengapa saya tidak sampai kemudian tidak suka pada matematika itu sendiri. Yang sering ada adalah rasa penasaran untuk menyelesaikan soal;-soalnya.

Berbekal rasa itu saya kemudian memilih jurusan matematika saat kuliah. Erm... sebenarnya bukan itu alasan utamanya, hahahaha. Tapi ketika UMPTN (itu lah istilahnya saat itu, jadi ketauan kan umurnya) saya memilih teknik sipil dan farmasi. Sebenernya bisa masuk teknik sipil, tapi waktu itu saya masuk ke daftar tunggu, yang artinya bisa masuk jika yang nilainya ada diatas saya tidak jadi mengambil.

Saya orangnya malas menunggu, dan malas merasa di PHP jadi saya tidak menunggu dan mendaftar di universitas lain di jurusan matematika.

Baca juga : Buku Favorit 

Apakah saya menyesalinya?

Tentu tidaaaaaak, kakak. Dan ini bukan karena saya suka matematika juga sih. Hahaha. Tapi karena dengan masuk jurusan matematika saya ketemu sama cowok yang akhirnya menjadi suami saya sekarang. 

Saat masuk jurusan matematika ini akhirnya saya tahu, bahwa banyak kok anak yang juga sesuka itu dengan matematika. Tapi lucunya, saat saya menyatakan hal itu suamik langsung nyaut : kalo aku sih masuk matematika bukan karena suka, tapi salah aja ambil jurusan. #eaaaaak.

Jodoh kali ya, jadi didekatkan lewat matematika. Hahaha.

Tapi sekarang yang lucu sekarang ini, ketika anak-anak saya nilainya memuaskan, pun di matematikanya, maka ada saja orang yang berkomentar. Ya, pantes aja sih pinter matematika bapak ibunya kuliahnya jurusan matematika. 

Bukan apa-apa sih, cuma kadang pengen aja bilang, mereka juga berusaha loh... bukan karena bapak ibunya orang matematika terus mereka otomatis bisa matematika, ya kaaaaan! Belum lagi misal mereka tau gitu saat saya nyuruh anak cowok saya untuk menghafal perkalian, dan saya mendapat jawaban, “halah bu, bisa dihitung loh, ngapain pake dihafalin”. Bikin emosi aja nih bocah!

1 comment:

  1. Yang kuherankan, ketika milih jurusan matematika apakah kamu ndak pusing Nge ngapalin rumus, ngerjakan soal yang jawabannnya gak bisa dihitung walau sama rumus sekalipun? Hahaha

    ReplyDelete