Dec 10, 2019

Kim Ji-Yeong - Born 1982

Awalnya mungkin saya agak ketinggalan tentang buku dan film satu ini. Awal saya tahu adalah ketika beberapa teman mulai membicarakannya di akun media sosialnya. Saya mulai tertarik, karenanya saya justru menghindari untuk tahu lebih dalam dari review buku atau film yang sudah banyak beredar.


Sebelum nonton filmnya tentu saya ingin membaca buku dulu, ya itu sih kebiasaan saya. Karena kalau nonton filmnya dulu kadang jadi males baca bukunya.

Jika membaca bukunya, maka tampak jelas yang ditunjukkan pertama adalah tentang sistem patriarki, di mana laki-laki lebih banyak diberikan kemudahan, bahkan semenjak ia dalam kandungan. Hal tersebut ditunjukkan salah satunya adalah ketika seorang ibu yang mengandung anak laki-laki maka perlakuan dari orang tua atau ibu mertua akan berbeda, dibandingkan ketika mengandung anak perempuan.

Kemudian berlanjut ketika anak perempuan diminta untuk bekerja dan membantu orang tua, salah satunya adalah untuk membiayai kebutuhan dari saudara laki-laki mereka.

Hal tersebut tidak hanya selesai sampai disitu tetapi juga terjadi di dunia kerja, dimana yang lebih mudah untuk mendapat promosi jabatan adalah karyawan laki-laki.

Alasan yang diberikan mungkin masuk akal, laki-laki nantinya bebannya akan besar. Ketika ia menikah maka ia bertanggung jawab atas istri dan anaknya, sedangkan dalam dunia kerja, karyawan laki-laki lebih besar kemungkinan bertahan diperusahaan dibandingkan karyawan perempuan, yang mungkin akan berhenti bekerja ketika mereka menikah ataupun punya anak.

Kim Ji-Yeong adalah KITA?

Kita? Kamu aja kali.... #eaaak

Mungkin masalah yang dihadapi tak sama persis dengan apa yang dihadapi oleh Kim Ji Yeong, namun beberapa keresahan mungkin secara tak langsung tersampaikan. Tentu tidak sama persis segala masalah yang dihadapi oleh Kim Ji-Yeong.

Tapi jika membaca bukunya, masalah patraiarki ini paling tidak membuat saya, secara tidak langsung diajak bersyukur. Ketika kita hidup di negara yang mungkin sistem  patriarkinya, walau mungkin ada tetapi tidak sekeras yang ada di Korea sana. Mungkin di sini pun juga ada saat di mana kehadiran anak laki-laki lebih dinantikan, tetapi rasanya makin kesini anak laki ataupun perempuan bisa dibilang sama-sama diharapkan. Karena mungkin juga, sudah makin sedikit yang menggunakan marga untuk anak-anaknya. Anak laki-laki dianggap sebagai penerus marga, itu yang rasanya menjadi salah satu alasan mengapa anak laki-laki lebih didambakan kehadirannya.

Pun dalam dunia kerja, di mana kesempatan untuk melakukan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan rasanya sudah sama. Profesi apapun rasanya, bisa kita temui ada pekerja laki-laki dan perempuan. Walau ya, untuk hal ini saya mungkin kurang memiliki banyak pengalaman.

Untuk sistem patriarki, saya tidak bisa berkomentar banyak, karena biasanya keadaan itu terjadi secara turun temurun. Untuk bisa menghentikannya, ya "kebiasaan" itu harus berhenti di kita. Seperti yang dilakukan ibu Kim Ji-Yeong, dengan tidak membedakan ketiga anaknya.

Hal yang dialami oleh Kim Ji-Yeong, khususnya masalah kehidupannya setelah pernikahan bisa saja terjadi pada siapa saja. Pada saya, atau mungkin pada anda. Walau ya, tentu kita tidak mengharapkan hal tersebut terjadi.

Apakah buku dan film ini bagus?

Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Di satu sisi beberapa orang mungkin bisa related dengan film tersebut, menyuarakan kegelisahan yang mungkin sedang dihadapi. Bahwa kehidupan pernikahan tak seindah layaknya dongeng yang selama ini dipertontonkan. Menikah dan kemudian hidup bahagia selamanya.

Saya melihatnya sebagai pengingat bahwa ya, kehidupan pernikahan kadang tidaklah mudah. Dan yang perlu dilakukan ada mempersiapkan diri sebelum kemudian mengambil keputusan untuk terjun kedalamnya. Setidaknya, karena saya sudah menikah itu yang harus saya tanamkan untuk anak saya nantinya.

Bukan menjadikannya sebagai ketakutan, tetapi bagaimana mengambil pelajaran atas apa yang disuguhkan, sehingga bisa menghindarkan diri agar tak perlu melaluinya.

Sedikit berbeda dengan buku, film ini langsung menampilkan masalah yang dihadapi Kim Ji-Yeong, yaitu depresi pasca melahirkan. Sebenarnya masalahnya tidak sesimple dia tidak bisa menerima dirinya menjadi seorang ibu, dan harus berada di rumah. Masalah yang dihadapi Kim Ji-Yeong bisa dikatakan lebih kompleks.

Memang dalam film akan ada banyak clue dari apa yang sebenarnya menjadi penyebab depresi Kim Ji-Yeong. Flash back masa kecilnya menunjukkan bahwa sebenarnya ia tertekan sejak kecil. Walau ya, mungkin ibunya tidak membedakan dia dengan anak lainnya, atau lebih mengutamakan anak laki-lakinya, tetapi apa yang dilakukan ibunya tidak didukung oleh ayah dan neneknya.

Mengapa ia baru depresi setelah menikah dan kemudian memiliki anak? Padahal jika dilihat sekilas, kehidupannya baik-baik saja, walau tak bisa bekerja namun tempat tinggalnya pun bagus, kemudian ia masih memiliki waktu untuk dirinya sendiri saat anaknya dititipkan di day care.

Pemetiknya adalah ucapan-ucapan orang yang kadang menganggap pekerjaan ibu rumah tangga itu hanya enaknya saja, bisa ngopi sambil ajak anak jalan-jalan. Sehingga mematik dia ingin bekerja lagi, dan kemudian masalah demi masalah lainnya timbul.

Mungkin sebagian orang akan menganggap masalah yang dihadapi Kim Ji-Yeong sepele, tapi kita tidak pernah tau perjuangan apa dan masalah apa yang dihadapinya. Ketika menerima komentar, dan ia kemudian tidak mampu menjawab atau mungkin malas memperpanjang masalah sebenarnya itu yang membuatnya semakin terpuruk.

Hal tersebut sebenarnya bisa menjadi warning bahwa terkadang ucapan yang kita anggap sepele, bisa jadi menyakitkan bagi orang lain. Terlebih jika itu mengomentari secara langsung.

Satu hal yang saya suka dalam film ini adalah keberanian suami Kim Ji-Yeong untuk konsultasi ke psikater sebelum mengajak istrinya untuk berkonsultasi. Menyadari ada yang tidak beres dengan istrinya, tidak serta merta ia menyalahkan istrinya. Walau mungkin dalam film juga di tunjukkan bahwa sang suami juga ketakutan, karena dia berpikir semuanya terjadi setelah Kim Ji-Yeong menikah dengan dirinya.

Jaman sudah berkembang, stigma buruk ketika seseoragn mendatangi psikolog atau psikiater sudah tidak seperti dulu lagi, namun terkadang ketakutan yang ada dalam diri kita sendiri yang membuat kita enggan untuk meminta bantuan pada ahlinya.

2 comments:

  1. Saya juga sudah membaca bukunya walau belum menonton filmnya. Dan buku ini mengajarkan persamaan hak baik bagi laki-laki atau perempuan, untuk hal-hal umum, tanpa merusak yang menjadi kodratnya masing-masing.

    Soal psikiater, kayaknya di negara kita masih kurang banyak. Soalnya saya jarang menemukan klinik psikiater. Kebanyakan adanya di rumah sakit. Padahal penting banget keberadaannya.

    ReplyDelete
  2. aku sudah nonton filmnya tapi belum selesai baca bukunya.

    ReplyDelete