Dec 19, 2019

Keputusan dan Konsekuensinya

Saat seseorang mengambil sebuah keputusan, maka ia mau tak mau harus siap dengan segala konsekuensi atau resiko yang mengiringi.
Semua orang pastinya sudah paham dengan kalimat di atas, karena itulah yang terjadi dalam hidup. Setiap keputusan atau tindakan akan ada konsekuensi atau resikonya. Seperti, bermain air ya ada kemungkinan basah, bermain api ya ada kemungkinan terbakar. Walau mungkin konsekuensi atau resiko itu bisa diminimalisir jika melakukannya dengan benar.

Begitupun dengan keputusan berumah tangga.

Orang sering kali bilang, jangan termakan dongeng dimana setelah menikah maka akan hidup bahagia selamanya. Karena kehidupan pernikahan tidak sesimpel yang ada di dongeng.

Saya membenarkan bahwa kehidupan setelah pernikahan memang tak semudah di dongeng yang hanya berakhir pada kalimat "dan mereka akhirnya hidup bahagia selama-lamanya". Tapi tidak kemudian menghindari menikmati dongeng, karena tidak ada yang salah dengan dongeng. Bahkan akan banyak pelajaran lain yang bisa di dapat jika kita mau mencoba mencarinya.

Baca juga : Kim Ji-Yeong - Born 1982

Seorang teman bercerita, si A resign di suruh suaminya, dan sekarang dia mengeluh bla bla bla.

Saya kemudian bertanya, lah omongan sebelum menikah gimana loh?

Ya, sebelumnya sih bilangnya boleh kerja, tapi kemudian karena pulangnya malem dan suaminya merasa kurang perhatian akhirnya dia disuruh resign.

Atau kemudian seorang teman ada yang mengeluh panjang kali lebar kali tinggi, sampai penuh itu status tentang betapa beratnya jadi dirinya, yang harus bekerja dan mengurus anak yang masih kecil.

Ketika ditanya, alasan kerja apa? Butuh uang?

Jawabnya adalah mengaktualisasikan diri, karena masalah uang sudah tercukupi lah, sama suami, kalau misal dia nggak kerja pun.

Saya terkadang heran saja, mengapa mereka mengeluh atas apa yang menjadi pilihan mereka sendiri?

Pernah nggak dulu pacaran begitu memuja pacar, tetapi kemudian putus, dan berakhir dengan mengetahui semua kejelekan pacar. Pasti akan bertanya-tanya, dulu kok aku bisa ya suka sama orang itu? Hahaha.

Yah, pertanyaan semacam itu yang kemudian pop up dikepala saya ketika orang mulai mengeluhkan ini dan itu sedangkan sebenarnya itu semua adalah pilihan mereka sendiri.

Bukan berarti orang tak boleh mengeluh, bukan. Selama masih manusia, wajar lah mengeluh. Tapi kemudian jangan menjadikannya keluhan dan keluhan yang akhirnya tanpa sadar hanya membongkar aib sendiri. Atau kemudian ada kubu-kubuan antara stay at home mom, dengan working mom, kemudian ditambah working at home mom.

Tidak ada yang salah dengan semua status diatas, semuanya tetap seorang ibu yang sudah mengandung kemudian bertaruh nyawa untuk melahirkan anaknya.

Ketika saya mengomentari keluhan begitu, beberapa orang menanggapi, enaklah kamu ngomong gitu, kamu nggak merasakan apa yang saya rasakan.

Ah, disinilah terkadang bingung.

Bukan berarti yang tidak ngeshare masalahnya, maka ia tidak memiliki masalah.
Bukan berarti yang tidak mengeluh, maka ia tidak memiliki keluhan.

Saya kadang mengira, orang hanya tak menyadari bahwa konsekusnsi dari memutuskan menikah itu buanyak. Tidak sekedar menerima kekurangan pasangan, tapi apa yang akan terjadi dalam hidupnya setelah menikah.

Let say, sama suami dibolehin kerja. Tapi gimana solusinya ketika kemudian memiliki anak? Bisa saja akhirnya harus berhenti kerja karena harus mengurus anak sendiri tanpa mau ngerepotin orang tua. Siap nggak?

Let say, ada kok yang bantu urus anak ketika kerja, misal orang tua/mertua. Siap nggak dengan beban label "orang tua" yang tidak hanya bisa melimpahkan anak pada orang lain. Karena bagaimana tumbuh kembang anak tetap jadi tanggungan orang tua. Siap nggak?

Saya bukan menakuti akan kehidupan pernikahan, tetapi ya itu segala keputusan akan ada konsekuensinya. Dan disinilah kita diminta mengenal diri kita sendiri, sebelum kemudian mengenal orang yang mendampingi hidup kita.

Saya ada satu cerita. Ini tentang saya.

Ketika sebelum menikah, saya meminta pada suami untuk tidak hidup serumah dengan orang tua. Baik dari pihak saya maupun pihak dia. Dan ya, dia menyanggupi, dan ya beberapa orang yang kadang share cerita dengan saya mengetahui perjanjian ini. Ada yang setuju dan itdak, itu biasa.

Sampai suatu kejadian, seorang teman mengatakan akan menikah dan memutuskan setelah menikah akan tinggal serumah dengan mertuanya. Ya itu keputusan dia, jadi saya hanya bilang "semangat!" Ucapan selanjutnya lah yang tidak saya duga, ketika dia bilang "nggak apa Mbak, tinggal sama mertua.... sambil cari pahala."

Entah dia menyindir saya atau tidak, tapi saya merasa perkataannya terlalu intimidatif untuk saya yang meminta pada suami, bahwa saya tidak mau tinggal serumah dengan keluarga. Mungkin yang tertangkap olehnya adalah bahwa saya tidak mau tinggal dengan keluarga suami karena nggak suka, titik.

Saat akhirnya ia menikah, saya walau tidak bisa melupakan omongannya tapi tidak membuatnya menjadi pekara yang panjang. Hingga, setelah beberapa bulan, ia mengalami masalah dengan mertuanya, dan memutuskan kembali ke rumah ibunya dan akhirnya bercerai.

Dan ketika masalah teman saya ini menjadi bahan obrolan, mertua saya menjadikan saya sebagai alasan, Mbak Inge saja tidak mau tinggal serumah dengan mertua, padahal ya nggak ada masalah apa-apa. Lah ini, kalau ada masalah wajar kan kalau nggak mau tinggal serumah.

Sungguh, ada sedikit rasa sakit hati dalam diri saya. Ingin saya berucap, saya tidak mau tinggal serumah karena saya tau kemampuan saya untuk bisa menerima pendapat orang lain akan rumah tangga saya nantinya. Daripada saya menyakiti ibu mertua, pun begitu sebaliknya, dan memposisikan suami di tengah, yang pastinya akan sangat tidak enak, maka saya mengambil keputusan untuk tidak tinggal serumah, mengurangi gesekan itu.

Mengapa kemudian seakan ada masalah dulu baru akhirnya memutuskan untuk tidak serumah, sedangkan mengambil keputusan menikah kan harus tau kalau harus serumah dengan mertua. Saya tida pernah menyepelekan masalah teman saya ini walau terkadanger ketika diminta tanggapan jawaban saya terkesan menyepelekan.

Tanggapan saya ini tidak pernah saya lontarkan padanya secara langsung, karena ya sedikit banyak pasti akan menyinggung dia.

Sebenarnya saya hanya hanya mengajaknya untuk kembali pada akar masalah, yang menurut saya adalah keputusan dia sendiri, karena yang terjadi berikutnya adalah konsekuensinya.

Harusnya dilihat dari awal pernikahan terjadi, apapun yang mendasari salah satunya ya karena ada persetujuan dari dua belah pihak, bahwa setelah menikahan syaratnya serumah dengan mertua, coba ditolak, apakah akan ada pernikahan?

Walau dalam perjalanannya mungkin akan terjadi kompromi atau apa, tapi ya... Kembali lagi, ada keputusan ada konsekuensi.

Ya, pemikiran setiap orang berbeda, bagaimana dan apa yang ia pikirkan saat mengambil keputusan juga berbeda, dan bagaimana ia mengatasi masalah yang merupakan konsekuensi juga berbeda.  Yang harusnya selalu diingat, bahwa akan ada konsekuensi disetiap tindakan atau pilihan.

1 comment:

  1. #manggut-manggut baca argumentasi mb inge ini

    Akupun sedari awal merried, selalu menekankan setelah nikah tinggal dimana? Bukan masalah ngontrak atau harus punya rumah sendiri cepet2, tapi mandiri atau masih seatap dg ortu kedua belah pihak.

    Dan opsi misah dari mertua or ortu sendiri memang jadi penekananku sedari awal, alhamdulilah disetujui karena memang ga ada kondisi sangat urgent harus tinggal sama mereka, blom ada lebih tepatnya

    Dan rada agak2 gimana gitu pas bagian alasan penjelasan teman mb inge di artikel ini terkait alasan setuju serumah dg mertua dengan dalih ladang pahala...ya memang benar ladang pahala, tp bukan berarti kyk memojokkan pilihan teman lainnya yang milih misah seolah olah ga berbakti wekeke...puyeng jg sih...

    Bukan berarti yang tidak ngeshare masalahnya, maka ia tidak memiliki masalah.
    Bukan berarti yang tidak mengeluh, maka ia tidak memiliki keluhan.

    Soalnya memang cara tiap orang menyikapi sesuatu beda2, misalnya yang memilih diam dan ngeshare yang pantas22 aja dikonsumsi public ya karena pingin kehormatan keluarganya tetap terjaga

    Balik lg memang semua keputusan ada konsekuensinya sendiri2 ya, sesuai dg judulnya
    Dan setuju bgt pada point

    ReplyDelete