Dec 21, 2016

Kompetisi.

Saya, sangat setuju bahwa anak bukan ajang untuk kompetisi. Mengajarkan anak untuk mau ikut berpasrisipasi dalam ajang lomba, mengajarkan tentang menang dan kalah, mengajarkan bahwa hasil itu penentunya salah satunya adalah usaha kita. Itu mengajarkan kompetisi anak, secara sehat.

Tapi, tidak membuat anak menjadi satu ajang kompetisi. Saya pernah menulis tentang ini diawal tahun ini. Monggo kalo ada yang belum baca, di sini.


Ada dua hal membuat saya akhirnya menuliskan hal ini lagi.

Pertama, gambar karikatur karya Okke tentang bagaimana dia pernah secara nggak sadar terjebak dalam obrolan yang berbau menjadikan anak sebagai ajang kompetisi.

Awalnya mungkin biasa, hanya diawali dengan pertanyaan "anakmu sudah bisa apa?" Dan kemudian ketika jawaban yang diberikan ternyata kebisaan anak kurang dari kebisaan anak dari penanya, maka akan timbul pertanyaan, yang berujung menyudutkan, seperti "masa' udah usia segitu belum bisa bla bla... Anakku usia segitu udah bisa bla bla bla..."

Entah orang itu sadar atau nggak bahwa ucapan menyudutkan, sampe pengen ngeleletin sambel terasi lombok 100. Hahaha. Tapi hal seperti itu kadang memang gak bisa dihindari, sih. Dan satu hal, mungkin saat ini sudah banyak orang yang anaknya punya DSA yang bisa diajak sharing tentang tumbuh kembang. Bagaimana orang yang nggak bisa membawa anaknya ke DSA, kepuskesmas aja cuman sampe vaksin campak. Kalaupun posyandu paling cuman timbang aja, tentang tumbuh kembang banyak yang belum terjamah.

Saya rasa obrolan tentang, "anak sudah bisa apa?" bisa jadi salah satu tempat untuk cari tau, harusnya anak sudah bisa apa paling nggak diusia seharusnya. Misal sampai 5 bulan anak belum bisa tengkurap, akan jadi warning ketika anak seusianya sudah mulai duduk. Mungkin akan sedikit menyakitkan, ketika orang bilang "kok belum bisa sih... bla bla bla..." Tapi, ya jadikan itu sebagai pengingat saja.

Hal kedua adalah, ketika seorang anak yang usianya dibawah Ziandra 3bulan, artinya usianya 5 tahun desember nanti, tahun depan akan masuk SD. Cukup buat kaget, tapi ya sudah mungkin memang anak tersebut mampu.

Tapi saya makin kaget, ketika untuk masuk SD anak tersebut harus ikut tes menghadapi 4 guru yang masing-masing menguji tentang agama, calistung, hafalan, dan entah satunya apa lupa. Alhamdulillah anak itu lulus, tapi saya agak miris ketika ibunya bilang kalo itu semua mau ayahnya. Sebelum tes masuk itu anak jadi diforsir untuk belajar ngaji, baca, tulis, hitung. Ya, berarti belajar dalam tekanan.

Saya tanya, kenapa seperti itu?

Jawabannya bikin saya tambah syok. Karena Ziandra kalo tes pasti bisa larena Ziandra sudah bisa semua.

Laaaah, kenapa jadi Ziandra. Ternyata apa yang Ziandra bisa, tuh anak harus bisa. Sedangkan cara belajarnya beda. Ini yang bikin saya sedih. Sejak itu saya dan suami memutuskan, untuk nggak menceritakan perkembangan Ziandra. Mencegah terjadinya kompetisi seperti itu.

Karena terkadang hal gak mengenakan terjadi bukan hanya ke anaknya sendiri, tapi juga ke Ziandra. Ketika dia ditanya apa bisa bla bla bla... Dan dijawab belum bisa maka lanjutannya adalah "wah moso ngunu ae belum bisa..." Mengatakan itu ke seorang anak, bukanlah suatu yang baik. Kan?

4 comments:

  1. Yaituu kadang niat ngajarin anak2 utk APA sih..Kasian yaa anak2 yg jadi korban kompetisi

    ReplyDelete
  2. ada nih tetangga yg pamer bandingin ke iyas, aku sih senyumin aja :D

    ReplyDelete
  3. boleh ajak anak berkompetisi. Tapi ajarkan kompetisi yang sehat. Jangan kalau menang disanjung banget, giliran kalah anak dimarahin abis-abisan. Kasihan

    ReplyDelete
  4. Aku nanya ke org sih kadang hanya basa basi aja. Ga membanding2kan, apalagi masalah toilet training. Anakku blom TT sama sekali XD

    ReplyDelete