Dec 26, 2014

Kritik boleh, tapi jangan anonim.

Beberapa waktu lalu, saat blogwalking ke 'rumah' mba' Elsa ternyata sedang membahas tentang salah satu komentar yang menurut saya sih lumayan 'pedas'. Tapi ada satu hal lain yang saya sesalkan selain 'pedas'nya kritik itu, yaitu yang mengkritik hanya bersembunyi dibalik nama anonim.

Namanya  juga sesuatu yang kita tampilkan di ranah publik, tentu kita harus siap dengan konsekuensi apapun yang akan mengikuti. Walau terkadang tak jarang muncul kalimat pembelaan semacam 'blog-blogku sendiri, terserah aku donk mau nulis apa!'. Memang tak jarang blog atau mungkin socmed lainnya dianggap sebagai 'rumah maya' bagi sebagian orang, namun nggak sedikit yang lupa bahwa socmed ini seperti mulut, ketika dia sudah terbuka maka nggak menutup kemungkinan jika orang yang seharusnya tidak mendengar ikut mendengarkan, dan bisa menimbulkan reaksi akan itu. Kalau salah bicara, bisa kena tegur bahkan kalau sampai parah bisa kena tempeleng.


Kembali ke komentar tadi, jadi saya rasa masih wajar jika yang berkomentar menampilkan identitasnya. Gimana mau menempeleng coba, kalau nggak mau berhadapan langsung. Karena buat saya komentar atau mungkin lebih bisa disebut kritik kalau disampaikan dengan baik bisa membuka ruang diskusi bahkan bisa membawa pelajaran tersendiri, baik buat yang mengkritik dan dikritik.

Beberapa kali saya juga mendapatkan komentar untuk apa yang saya post di socmed.

Misal saat saya posting di Instagram tentang anak saya pertama yang mulai bermain dengan mainan edukasi, seorang teman berkomentar 'katamu anak yg masih belum cukup umur nggak boleh diajari calistung, ternyata anakmu sendiri diajari ABC'

Atau dipostingan lain, saat saya menunjukkan anak pertama saya tengah mengikuti lomba mewarnai. Kembali seorang teman yang lain berkomentar 'eh, kok anakmu cuman diajari mewarnai, coba ikutin les musik gitu atau yang lainnya'.

Alhamdullilah yang berkomentar tersebut tidak menggunakan anonim, walau mereka berkomentar melalui inbox di salah satu socmed. Saya terima komentar mereka dan kadang juga akhirnya berdiskusi. Walau berkomentarnya melalui inbox, itupun bisa saya mengerti. Karena kadang nggak jarang justru yang berkomentar justru menjadi bahan 'bully' oleh orang lain yang ikut berkomentar. Kalau sudah bully, endingnya justru bukan diskusi malah cuman debat kusir tak berkesudahan.

Jadi,

Jika blog bagi sebagian nara blog adalah rumah, maka yang berkunjung hendaknya sopan dan memperkenalkan diri.
Tapi nara blog juga mungkin harus mengingat, bahwa blog juga bisa diartikan sebagai mulut. Apa yang sudah diucapkan terkadang tidak bisa ditarik begitu saja.




1 comment:

  1. Wah saya juga baca komentar yg di blog Mbak Elsa itu.. kalo yg seperti itu mah menurut saya bukan kritik, cuma timpalan orang iri saja.. kalo kritik ya disertakan saran yang membangun.. ini cuman kata2 penuh rasa tidak suka krn orang lain lebih berpunya..

    ReplyDelete